Kamis, 25 Juni 2009

Cerpen Seputar Disiplin

PENDIRIAN YANG BARU

Pascal Leuwayan

“Teng…teng…teng!” Bel bangun tidur berbunyi. Mataku sulit membuka. Walau telah 5 tahun hidup di seminari dengan aturan: bangun jam 05.00, kebiasaan untuk langsung bangun ketika bel berbunyi, seperti selalu ditekankan Rm. Prefek, belum dapat aku praktekan. Rasa dingin yang menyerang membabi buta membuat aku kewalahan walau telah bertamengkan 2 selimut tebal. Ingin rasanya tetap berlindung pada tameng itu, tapi sebagai seorang seminaris yang menjunjung tinggi nilai kedisiplinan, aku harus menyerang balik sang dingin demi menegakan aturan.

Sehabis mandi, sempat kulihat Frengki, teman seangkatanku yang masih nyenyak di tempat tidurnya. Entah karena tak mampu memenangkan perang melawan sang dingin atau karena merasa nyaman oleh buaian sang Selimut. Tiba-tiba ada suara berlari. Ternyata Ilas. Ia telah selesai berpakaian dan memakai sepatu. Mungkin hanya satu pikiran yang ada di benaknya: Aku harus sampai di kapel sebelum bel berbunyi. Ilas adalah seorang teladan kedisiplinan yang selalu aku kagumi tapi tak pernah dapat kutiru.

“Rios, segeralah berpakaian! 10 menit lagi bel berbunyi!”. Nah, yang satu ini juga penegak kedisiplinan. Rey adalah time keeper atau petugas waktu. Tugasnya membunyikan lonceng dan mengingatkan teman-teman pada tempat dan waktu yang salah. Aku pun segera berpakaian. Kulihat Ilas telah berlari menuju kapel sedang Rey membangunkan Frengki yang tak bergeming dari posisi tidurnya. Frengki malah memasang roman marah pada Rey.

“ Aku sudah mengingatkan kamu! Jangan salahkan aku kalau kamu kedapatan oleh romo”, Terdengar teriakan Rey. Aku berbalik dan melihat Rey berjalan dengan kesal meninggalkan Frengki yang masih tak bergeming. Sebuah cibiran menghiasi bibirnya. Walaupun sangat marah, Rey pasti tetap memegang teguh kekompakan dalam hal jahat. Seorang yang tahu temannya berbuat salah tak akan melaporkannya pada para pembina. Demikian juga Rey. Walau emosinya memuncak pada Frengki, takkan pernah ia berani melaporkannya pada romo. Mungkin karena dibayang-bayangi konsekuensi “dijauhi teman-teman”. Ya…itulah suatu tradisi yang salah namun terus diwariskan di Seminari.

Aku gamang melihat dua situasi yang kontras ini. Ilas yang sangat patuh pada aturan dan Frengki yang mengacuhkannya. Seakan ialah yang terhebat. Hanya dia yang bisa melanggar aturan.

Lalu seolah-olah aku mendengar ia berkata : “kamu itu penakut, tidak berani melanggar aturan seperti aku. Aku lebih jantan dari kamu”.

Errrrg…dasar! Memangnya dia kira hanya dia yang bisa melawan aturan. Aku juga bisa. Akan kutunjukkan bahwa aku juga berani berbuat salah. Bel berbunyi mengiringi derap langkahku menuju ke belakang kamar tidur. Arah yang berlawanan dengan jalan menuju kapel.

******

Pelajaran pagi itu menyenangkan, tapi dibuat jadi tak menyenangkan oleh gurunya. Gaya mengajar yang monoton dan hanya memperbolehkan siswa memperhatikan, membuat pak Tinus sang guru Astronomi, populer sebagai juara menidurkan siswa. Semangatku lenyap. Tanpa sadar kepalaku terkulai bagai ayam yang mencium aroma biji jambu mete bakar. Sedikit lagi kumasuki alam mimpi kalau saja kapur sialan itu tak menghantam kepalaku.

“Rios! Sudah dua kali kamu mendapat lemparan kapur. Lemparan ketiga silahkan angkat kaki dari kelas ini”, ultimatum pak Tinus yang membuat aku tak mengantuk lagi. Teman-teman lain tertawa. Padahal aku tahu pasti bahwa mereka juga mengantuk. Tapi kubiarkan saja pekerjaan menertawakan aku itu menjadi pengobat kantuk mereka. Untunglah pelajaran segera berakhir. Hormat penutup kami mengiringi kaki pak Tinus keluar kelas. Seakan koor syukur berakhirnya masa gelap.

Terdengar suara Frengki yang keras tak biasanya. Sepertinya ia ingin agar semua siswa mendengarnya. Dengan bangga ia bercerita tentang keberhasilannya lolos dari pemeriksaan Romo Prefek di kamar tidur tadi pagi. Sang Romo tak menemukannya karena ia bersembunyi di kolong tempat tidur. Aku tahu kebiasaan Romo Prefek memeriksa kamar tidur pada waktu anak-anak sedang misa pagi. Jadi aku tidak tinggal di kamar tidur tapi di belakang kamar tidur, di atas sebuah pohon yang cukup tinggi.

Aku kini merasa bahwa melanggar aturan telah menjadi ajang penunjukan kejantanan. Telingaku panas, hatiku kembang-kempis. Segala kata dari mulutnya kurasa sebagai buluh yang menggelitik kedengkian dan emosiku. Dasar! Sudah buat salah malah dibanggakan! Aku merasa seperti kalah satu tingkat di bawah Frengki. Perasaanku seperti perasaan seorang yang sama-sama mencalonkan diri sebagai legislatif dengan temannya tapi temannya berhasil lolos sedangkan ia tidak. Merasa tak sanggup lagi menahan luapan kedengkian, aku pun keluar dari kelas.

******

Kompleks kebun di belakang kelas adalah tempat favoritku. Di lahan yang sedikit miring itu, tumbuh dengan rapi tanaman ubi kayu dan pohon–pohon tomat. Sangat indah dengan dikelilingi pohon sawo dan kedondong yang menambah kerindangannya. Di bawah sebuah pohon sawo, ada bangku-bangku tempat duduk hasil kreasi anak-anak kelas XI IPA. Di tempat ini telah banyak kutangkap inspirasi-inspirasi kecil yang lalu kuracik dalam kertas menjadi sebuah opini, cerpen atau puisi-puisi sedap yang dapat dinikmati teman-teman di papan mading.

Kuingat kembali kontradiksi tadi pagi yang membuat aku melanggar aturan. Banyak anak ingin menunjukkan ‘kejantanannya’ bahwa ia bukan penakut. Mereka yang melanggar aturan merasa tingkatnya lebih tinggi dibanding mereka yang alim. Entah tingkat apa. Mungkin suatu tingkat imajiner yang membuat mereka merasa lebih hebat karena telah melanggar aturan. Padahal di beberapa kriteria nyata mereka ini tak lebih hebat dibanding anak-anak yang taat aturan. Belum tentu mereka bisa main bola kaki seperti aku, libero inti tim sepakbola seminari. Belum tentu juga mereka sepintar Ilas sang Juara satu umum tiga kali berturut-turut. Mereka juga tidak sehebat Irwan dalam berakting di panggung. Jadi tidak terbukti kalau mereka yang melanggar aturan lebih hebat dari mereka yang alim.

Para seminaris juga banyak mendengar sharing pengalaman para pembina ketika masih seminaris. Mereka yang waktu seminaris meraih juara untuk melanggar aturan kebanyakan menjadi imam. Sedangkan mereka yang disiplin waktu saat seminaris jarang yang menjadi imam. Inilah yang menambah semangat para seminaris untuk coba-coba melanggar aturan “Toh nanti akan tetap jadi imam”. Ditambah lagi ada yang bilang: lebih baik buat yang tidak baik waktu seminaris karena ketika jadi imam tak dapat lagi buat yang tak baik.

Kalau begitu, apa yang membuat Romo Prefek, yang nota bene adalah pelanggar aturan nomor satu waktu seminaris selalu menebarkan pernyataan: taatilah aturan karena akan ada faedahnya bagimu?

“Rios, mereka yang tak jadi imam menjadi orang yang berhasil dalam hidupnya karena menerapkan disiplin, bukan?” Entah dari mana datangnya, pernyataan ini tiba-tiba muncul dalam diriku. Mencambuk aku dari kesalahpahaman. Benar! Inilah bukti kebenaran perkataan Romo Prefek. Mereka yang terbiasa disiplin ketika masih kecil menjadi manusia yang berguna dan sukses kini. Contohnya para mantan seminaris yang tidak menjadi imam, kini menjadi orang yang yang berhasil karena mempraktekkan kedisiplinan yang menempanya sejak di seminari.

Ah! Akhirnya sampailah aku di ujung permenunganku. Telah kutemukan jawaban dilemaku. Aku menyesal karena tadi pagi melanggar aturan. Ternyata kehebatan bukan diukur dari itu. Apa yang dilakukan oleh Frengki bukan contoh yang baik. Aku harus belajar berdisiplin dari sekarang demi masa depanku.

“Rios, buat apa kamu di situ? Bel masuk kelas sudah berbunyi!”, Ilas memanggilku dari jendela kelas. Ah itu dia idolaku dalam soal disiplin. Aku berjanji akan beradu disiplin dengannya.

Segera kutinggalkan kebun dan berlari ke kelas. Siap menjalani hidup dengan pendirian yang baru.

2 komentar:

  1. Cerita nya keren dan menarik.......
    Keseluruhan model cerita lucu tapi realistis juga. Pesan moralnya pun bagus.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Pengikut