Rabu, 24 Juni 2009

RINDU SERIBU BATANG JAGUNG...
Sketsa Perubahan Ekologi dan Sosial di Sumba


Lambanapu, desa kecil di pinggiran kota Waingapu, Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Sungai raya Kambaniru mengalir sepanjang tahun disana, tak pernah kering di musim kemarau panjang sekalipun. Lahan basah hijau terhampar luas di sekitarnya, termasuk petak-petak sawah dengan sistem irigasi modern, berkat Bendungan Kambaniru yang hanya beberapa kilometer ke arah hulu, menyolok sempurna dengan jajaran bukit-bukit gundul merah-coklat di kejaujhan (lihat foto).

Juni 2004.

Pertama kali memasuki desa ini dan desa-desa sekitarnya, saya merasa tidak sedang berada di Sumba, pulau lahan kering dan padang rumput seluas-luas mata memandang. Saya merasa seperti berada di salah satu pedalaman Pulau Jawa atau Bali yang subur. Sambil membayangkan dan memperbandingkannya dengan desa-desa lain di berbagai tempat di Sumba yang pernah saya kunjungi sebelumnya, kesimpulan pertama yang mampir di benak adalah: Lambanapu pastilah salah satu dari sedikit saja desa-desa yang paling berkecukupan, terutama dalam hal ketersediaan bahan pangan, di seantero pulau cadas-karang ini.

Dan, dugaan awal itu nyaris meleset. Di semua rumah, yang selalu tersaji di meja makan, hampir semuanya didatangkan dari luar Lambanapu, atau bahkan dari luar Sumba. Petani-petani sawah setempat mengaku menanam beberapa jenis padi (Oryza sativa) yang umum dikenal di seluruh Indonesia, antara lain, jenis IR-65. Bahkan ada beberapa yang dengan bangga memamerkan sawahnya yang ditanami padi jenis ‘Mamberamo’, salah satu jenis lokal penghasil beras ‘kelas menengah atas’ di negeri ini, kurang-lebih sekelas dengan yang lebih sohor seperti ‘Cianjur’, ‘Rojolele’, atau ‘Mentik-wangi’. Tetapi, mengapa semua itu tak pernah saya temukan di meja makan rumah-rumah mereka? Mengapa yang tersaji justru beras impor bermutu rendah dengan rasa yang sama sekali tak sedap?

Penjelasannya lumayan rumit. Tetapi, secara singkat dan sederhana dapat ditelusuri sebagai dampak dari krisis ekonomi kawasan dan nasional sejak tahun 1997. Sebagai salah satu negara yang paling parah menderita krisis tersebut –dan berbagai krisis sosial serta bencana alam yang menyertainya-- sediaan beras nasional sempat guncang, memaksa pemerintah akhirnya harus mengimpor tambahan beras dalam jumlah besar. Bantuan internasional juga mengalir masuk, antara lain, beras murah tapi bermutu rendah dari kelebihan produksi beberapa negara besar, khususnya Amerika Serikat. Dan, terutama beras ‘kelas rendah’ inilah –yang konon di negeri asalnya justru untuk pakan ternak--yang dibagi-bagikan di seluruh Indonesia --terutama ke daerah-daerah minus, atau terkena bencana, atau yang ‘rawan pangan’, seperti Sumba-- sebagai ‘bantuan beras untuk golongan miskin’ (disingkat ‘RASKIN’ --selanjutnya akan disebut saja sebagai ‘beras miskin’). Ada yang dibagikan gratis sebagai jatah bantuan tetap selama beberapa bulan, ada juga yang dibagikan dengan harga jual yang sangat rendah, separuh atau sepertiga harga ‘beras biasa’ yang umum di pasar dan dikonsumsi sebagian besar penduduk Indonesia selama ini. Pegawai-pegawai pemerintah lapisan terbawah, terutama di daerah-daerah terpencil dan bukan penghasil beras, adalah juga salah satu kelompok terbesar penerima jatah bantuan ‘beras miskin’ tersebut. Ditambah dengan yang dikorupsi oleh para pengelola peredarannya –termasuk banyak ‘organisasi sosial’ yang mendadak lahir sebagai akibat dari krisis berkepanjangan, peralihan sistem politik yang belum mantap, dan membanjirnya bantuan kemanusiaan—maka beredar lah di pasaran umum (secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi) sejumlah besar ‘beras miskin’ dengan harga yang memang masih tetap jauh lebih murah dibanding ‘beras biasa’ umumnya.

Maka, tuan-rumah saya di Lambanapu menjawab pertanyaan saya tadi dengan aritmatika ekonomi khas petani desa: mereka menjual ‘beras biasa’ –atau beberapa orang bahkan menjual ‘beras kelas menengah atas’—hasil produksi mereka sendiri, dengan harga pasaran umum selama ini, lalu membeli ‘beras miskin’ tadi dengan harga separuh atau sepertiga lebih murah. Bahkan sering bisa memperolehnya gratis jika mereka mampu meyakinkan lembaga-lembaga pemerintah atau organisasi-organisasi yang menyalurkannya bahwa mereka memang termasuk kelompok ‘penduduk miskin’. “Jadi”, kata tuan rumah saya, “jelas lebih untung, ‘kan? Bisa dapat lebih banyak beras, malah masih bisa ada sisa uang dari hasil jual beras kami sendiri”.

Saya sempat terhenyak membisu mendengarnya. Dan, pikiran dan perasaan saya kian galau-balau ketika menemukan kenyataan bahwa mereka juga mulai menganggap bahwa jagung (Zea mayz) dan umbi-umbian –yang sesungguhnya merupakan bahan pangan pokok (staple food) tradisional Sumba—bukan lagi makanan utama. Lebih parah lagi, anggapan itu mulai berubah menjadi ‘kesadaran palsu’ bahwa makan jagung atau umbi-umbian akan menurunkan derajat kelas atau status sosial mereka. Seperti juga sudah umum ditemukan di banyak daerah lain di Indonesia --yang asal-muasalnya justru bukanlah penghasil beras dan pemakan nasi-- ungkapan yang sering terdengar di Lambanapu adalah: “Rasanya belum makan kalau belum makan nasi!”.

Kegalauan saya semakin balau ketika menemukan bahwa masalah itu di Lambanapu tidak hanya berhenti pada soal bahan pangan pokok. Sementara lahan subur seputar rumah mereka banyak yang menganggur –atau justru lebih dipenuhi tanaman jangka-panjang (cash crops) seperti coklat (Theobroma cacao), jambu mete (Anacardium occidentale), mangga (Mangifera indica), dan sebagainya-- mereka malah semakin sering membeli sayur segar dari pasar kota Waingapu. Bahkan, konsep ‘sayur’ mulai berubah. Seperti juga halnya di banyak daerah lain di Indonesia, hidangan ‘sayur’ di meja makan mulai sering digantikan oleh mie langsung-jadi (instant) yang mereka beli dari warung atau toko terdekat. Hampir tak ada lagi yang menggoreng dengan minyak-kelapa buatan sendiri, tetapi minyak-goreng kemasan buatan pabrik berbagai merek.

Mama Dang, sekitar 60an tahun lebih, mengenang masa kecil dan remajanya yang tidak perlu membeli bahan pangan apapun. Jagung dan umbian-umbian tersedia sepanjang tahun, dan hampir semua jenis sesayuran dan bebuahan penting mereka tanam sendiri di kebun atau pekarangan, atau sepanjang tegalan tepi Sungai Kambaniru yang juga menyediakan berbagai jenis ikan dan udang sungai. Dia mengenang ‘masa makmur’ itu dengan satu contoh berikut. Musim kemarau setiap tahun di Sumba membuat sebagian besar desa lain yang tidak memiliki lahan subur dan sumber air melimpah seperti Lambanapu, pasti akan mengalami kesulitan bahan pangan. Pada saat-saat seperti itulah mereka akan datang ke Lambanapu untuk menukar ternak-ternak mereka (sapi, babi, kambing, atau kuda) terutama dengan jagung dan umbi-umbian. “Biasanya”, kata Mama Dang, “kami menukar 5-6 karung jagung, singkong, atau umbi-umbian lain, ditambah dengan 1-2 karung bawang campur wortel atau labu, kelapa, cabe, tomat, atau sayuran lain, dengan satu sapi atau kuda dewasa, atau dengan dua kambing atau babi dewasa”. Persediaan pangan mereka melimpah, sehingga tidak harus khawatir dengan menukarkan jumlah sebanyak itu. “Sekarang”, lanjutnya, “kami malah membeli hampir semua itu dari pasar Waingapu”. Ketika ditanya mengapa, Mama Dang menjawab jelas sekali: “Semakin sedikit orang yang menanamnya. Kalaupun ada yang menanam, umumnya hanya cukup untuk keperluan mereka sendiri, atau malah mereka jual ke Waingapu. Hampir semua orang sekarang bikin sawah dan tanam-padi, terutama sejak ada Bendungan Kambaniru....”.

***

Dan, sekarang, Mama Dang, bersama beberapa perempuan tua dan ibu-ibu muda lainnya, membentuk satu kelompok usaha tenun-ikat kain Sumba yang terkenal itu. Tiga atau empat hari dalam seminggu, mereka berkumpul untuk memintal benang, mencelup warna, mengikat, dan menenun. Akibatnya, mereka pun semakin tidak banyak waktu untuk mengolah lahan memproduksi bahan pangan. Beberapa yang lebih muda mengaku bahkan sudah tidak tahu lagi bagaimana melakukannya. Tetapi, mereka tetap berpengharapan besar bahwa hasil penjualan tenun-ikat mereka akan mendatangkan uang tunai yang lebih dari cukup untuk membeli bahan pangan yang tidak mereka produksi sendiri lagi.

Meskipun, harapan itu sebenarnya semakin kabur pula. Mereka mengaku dapat menyelesaikan satu lembar kain dalam jangka waktu beberapa minggu atau bahkan bulan. Harganya memang menggiurkan: antara Rp 400 ribu sampai Rp 1 juta per lembar, bahkan jenis dan ukuran tertentu bisa dijual lebih dari itu. Tetapi, itupun membutuhkan beberapa minggu atau bahkan bulan lagi untuk terjual. Beberapa tahun sebelumnya, ada pedagang barang kerajinan dari Bali yang menampung produksi mereka. Sekarang, semakin jarang datang atau memesannya. Sementara itu, saingan semakin banyak pula: hampir semua desa di Sumba telah memproduksi tenun-ikat untuk dijual ke pasar yang sama. Harga pun kian lama kian menurun, sehingga banyak yang kemudian mulai memproduksi tenun-ikat dengan bahan sintetik yang lebih cepat, lebih murah, dan lebih mudah dijual. Maka, jadilah tenun-ikat asli tradisional Sumba sebagai barang eksotik yang lebih mahal dengan pasar yang semakin terbatas.

Bukan hanya kaum perempuan yang meninggalkan sektor pertanian pangan mereka, tetapi juga semakin banyak laum lelakinya. Di hotel-hotel, restoran-restoran, bahkan di jalan-jalan raya dan hampir semua tempat umum di kota Waingapu, setiap hari puluhan lelaki menjajakan tenun-ikat mereka, terutama kepada para pendatang dan wisatawan, dengan wajah letih dan memelas –tetapi kadang-kadang dengan cara mendesak-desak yang sering menjengkelkan. Di hotel tempat saya menginap, saya menghitung sekitar 20 penjaja tenun-ikat itu berdiri setiap dan sepanjang hari di depan hotel dan, selama beberapa hari itu, saya tidak pernah melihat ada seorang tamu hotel pun yang membelinya...

***

Secara umum, kelangkaan bahan pangan yang sangat gawat memang belum pernah terjadi di Lambanapu, dibanding sebagian besar desa lain di Sumba –terutama Sumba Timur-- yang umumnya tandus dan sejak lama –bersama banyak daerah lain di Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Propinsi Nusa Tenggara Barat—dikenal sebagai salah satu ‘daerah rawan pangan nasional’. Tetapi gambaran singkat di atas memperlihatkan bahwa telah terjadi suatu proses perubahan sistem (ekonomi, politik, dan budaya) pangan lokal yang cenderung mengarah pada nasib yang sama di masa depan. Tanda-tandanya sudah sangat jelas: semakin banyak penduduk yang meninggalkan dan tidak trampil lagi dalam produksi bahan pangan lokal mereka, semakin banyak lahan pertanian pangan lokal berubah menjadi sawah monokultur untuk memproduksi beras yang justru lebih banyak dijual katimbang dikonsumsi sendiri, semakin sedikit keberagaman jenis bahan pangan yang mereka produksi sendiri, sehingga semakin lama mereka semakin tergantung pula pada sumber dan jenis bahan pangan yang didatangkan dari luar!

Beberapa data statistik resmi memperkuat prakiraan itu. Laporan mutakhir Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index –HDI) dari Program Pembangunan PBB (United Nations Development Program –UNDP), menunjukkan bahwa proporsi belanja rumah-tangga penduduk untuk pangan di Kabupaten Sumba Timur –dimana Lambanapu terletak— antara tahun 1999-2002, adalah 74,5%. Atau, hampir dua-pertiga dari total belanja rumah-tangga sebesar rata-rata hanya Rp 166.600 per bulan (UNDP-BAPPENAS-BPS, 2004). Dalam teori ekonomi, semakin besar belanja rumah-tangga untuk pangan berarti semakin miskin (lebih tepatnya: semakin mengalami proses pemiskinan), karena semakin tidak memiliki kemampuan untuk menabung, atau menyisihkan uang untuk keperluan peningkatan kesejahteraan lainnya (seperti untuk pendidikan dan kesehatan).

Hal itu, misalnya, terlihat pada jumlah bayi kekurangan gizi disana yang tercatat sebesar 31,9% pada tahun 1999 dan bertambah menjadi 33,6% pada tahun 2002, sementara angka kematian bayi adalah 73 per 1000 kelahiran pada tahun 2002, dan angka kesakitan (morbiditas) adalah 48,9% pada tahun yang sama. Semua angka-angka tersebut –dan beberapa angka lainnya yang berkaitan dengan pangan dan kesehatan—merupakan salah satu yang tertinggi di seluruh Indonesia, sehingga Kabupaten Sumba Timur dalam indeks kemiskinan nasional tahun 1999, tercatat pada peringkat ke-273 dari 294 kabupaten dan kota seluruh Indonesia (artinya, urutan ke-19 termiskin), dan pada peringkat ke-329 dari 366 kabupaten dan kota pada tahun 2002 (atau, urutan ke-37 termiskin) (UNDP-BAPPENAS-BPS, 2002 dan 2004). Singkatnya, masih tetap berada di ‘papan bawah’ sebagai daerah termiskin di negeri ini.

***

Oktober 2004.

Untuk kedua kalinya saya berkunjung ke Lambanapu. Kami bersepeda motor mendaki bukit-bukit tandus di tepi timur Sungai Raya Kambaniru. Panorama sungguh kontras. Lembah hijau sepanjang sungai dan lembah Lambanapu tertinggal di belakang, remang-remang dalam kepulan debu hasil gesekan roda-roda sepeda motor kami, sementara di depan mulai membentang perbukitan dan lembah gersang, coklat kemerahan sejauh mata memandang: bentang-alam Sumba yang sesungguhnya!

Lepas siang, kami beristirahat di bawah satu pohon meranggas sambil menikmati bekal jagung rebus dan dendeng kering. Di kejauhan tampak debu mengepul mengikuti jejak sekelompok anak-anak berlatih menunggang kuda Sumba yang terkenal itu. Saya teringat sajak terkenal dari Taufiq Ismail yang pernah ditulisnya untuk Sang Guru Penyair asal Sumba, Umbu Landu Paranggi. Saya melafazkannya dalam hati:

Rinduku pada Sumba
adalah rindu seribu ekor kuda
yang turun menggemuruh dari bukit-bukit jauh...

Lalu, kutambahkan lirik baru rekaan saya sendiri:

Rinduku pada Sumba
adalah rindu seribu batang jagung
yang tumbuh sepanjang tahun...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut